Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita Kita
Ramadhan 2024 ini lini masaku diramaikan dengan meme "berbukalah dengan yang setia, karena yang manis belum tentu setia."
Biasanya jingle "berbukalah dengan yang manis" selalu muncul pada setiap momen ramadhan. Kini dengan sedikit improvisasi jingle itu tergeser.
Beberapa ulama berpendapat bahwa kalimat itu tidak berasal dari hadist nabi. Namun, terlepas dari pendapat tersebut. Masih saja ada pembenaran yang muncul seolah-olah anjuran itu datang dari perintah Rasulullah.
Ajakan "berbukalah dengan yang manis" merupakan satu jargon dalam iklan sebuah produk minuman. Mungkin karena momennya tepat dan selalu diulang-ulang sepanjang bulan ramadhan, ajakan ini mendapat tempat di benak penonton.
Lalu bagaimana dengan ajakan berbuka dengan yang setia?
Sebelas dua belas dengan pendahulunya. Ajakan ini juga bukan dari anjuran Rasulullah. Aku tidak tahu apa motiv kreator yang menggarapnya. Namun, secara pribadi ada hal penting yang menjadi sorotan terhadap ajakan ini.
Kita cenderung melalaikan orang-orang yang setia. Kesetiaan itu seperti perilaku bodoh kerbau yang dicucuk hidungnya. Mereka yang setia seperti ban serap alih-alih menjadi prioritas. Mereka yang selalu ada, tapi menjadi pilihan terakhir.
Ingat terakhir kali ketika istri mengajak makan bersama? "aku ada janji sama kawan diluar, mi!" jawabmu.
Atau seberapa sering kamu membatalkan janji dengan anak hanya karena ada acara reuni kantor atau sejenisnya?
Mereka dengan setia menunggu dan selalu mengharapkan kehadiranmu menjadi pilihan terakhir.
Lalu bagaimana dengan kesetiaan Rasulullah pada kita umatnya? dipenghujung hari menjelang kematiannya, beliau tidak mencari-cari anak atau sahabatnya. Beliau senantiasa memanggil Ummati.. ummati.. ummati..
Beliau memanggil kita ummatnya. panggilan beliau menyiratkan harapan pada kemauan ummat untuk sentiasa mengikuti jalannya. Kelak ummatnya memilih jalan yang sama dengannya diantara banyak jalan lain yang dirasa benar.
Lalu bagaimana kita sekarang? Apakah jalan yang kita pilih masih sesuai dengan harapan Rasullullah? sepeninggal beliau, dengan mudahnya kita memilih jalan lain. Ironisnya, kita membuat pembenaran seolah-olah jalan itu adalah jalan yang sama dengan jalan yang pernah beliau lalui.
Kita sudah melenceng. Bukankah salah satu syarat untuk mengucapkan dua kalimat sahadat adalah sadar? tapi, dengan kesadaran yang sama, secara tidak sadar kita melencengkan ajaran beliau.
Bagaimana jika kesadaran ini kita kembalikan? Dengan semangat menjaga kesetiaan Rasulullah. Itu saja sudah cukup untuk menjadi motiv utama. Karena, kesetiaan tidak akan berarti tanpa kesetiaan serupa.
Jika salah satu diantara orang yang mengikat janji ada yang melenceng, maka itu tanda akan terjadi perselingkuhan. Apabila kamu merasa perselingkuhan itu menyakitkan, Apakah perselingkuhanmu dari ajaran Rasulullah itu tidak menyakiti hati beliau?
Posting Komentar
Posting Komentar