Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Cerita kamu
Pagi itu seperti biasa aku sedang duduk mengawasi anak-anak bermain. si bungsu tiba-tiba datang “ciyaatt..” katanya dan tangannya yang terkepal mengarah ke dadaku. “Aku akan menghancurkan mu monster jelek.” katanya kemudian.
Pada kesempatan lain, saat aku sedang duduk berdua dengan istri. Tiba-tiba kami mendengar suara “halo,.. iya, dirumah.” kemudian si bungsu keluar dari balik meja sambil tangannya memegang hp yang diletakkan di pipinya.
aku dan istriku hanya tertawa melihat tingkahnya. gayanya persis seperti aku bagaimana biasa berbicara di hp. “akh, anak-anak memang gampang meniru” pikirku.
Tapi, bagaimana jika anak biasa terpapar hal yang negatif?
Aku pernah menjadi supir angkutan salah satu sekolah swasta di kotaku, diperjalanan mengantarkan anak sekolah pulang kerumahnya, aku mendengar anak-anak ini saling beradu mulut.
“bapak kau naik kreta stangnya dibelakang.” kata yang seorang.
kemudian dibalas yang seorang lagi dengan “bapak kau pergi ke pasar pake hotpans.”
Aku segera menghentikan mobil dan menghampiri mereka berdua dan bertanya “dapat dari mana omongan seperti itu?”
“becandanya om,” kata yang seorang.
“biar kayak video-video di youtube itu om.” tambah yang satu lagi.
Aku hanya bisa istighfar dan mengingatkan mereka “tidak semua konten harus ditonton, dan tidak semua tren harus diikuti.”
Aku tidak memperpanjang nasehat karena tidak tahu apakah tontonan yang mereka lihat itu sepengetahuan orang tuanya atau tidak. setidaknya aku sudah membatasi ruang mereka untuk menjaga omongannya.
Aku sering melihat orang tua yang sengaja memberikan HP kepada anaknya dikeramaian. alasannya cuma 1 “biar ga rewel” katanya.
Apakah hal ini bisa dijadikan alasan?
Menolak anak-anak menjadi rewel dengan memberikannya HP dan menonton tanpa pengawasan adalah harga mahal yang harus dibayar orang tua kemudian hari.
Bagaimana tidak, paparan tontonan saat ini lemah pengawasan. Jarang kita temui acara anak-anak yang sarat pendidikan. Pun itu acara yang dikhususkan untuk anak-anak.
“Anakku bisa bahasa inggris dari menonton youtube” kata seorang kawan suatu hari.
“Hari-hari dia nonton acara bahasa inggris dan akhirnya lama-kelamaan dia lebih mahir berbahasa inggris daripada bahasa indonesia.” lanjutnya kemudian.
“anakku jadi suka bereksperimen.” kata yang lain menimpali.
“menonton acara yang berbau eksperimen membuat aku harus selalu pulang dengan barang-barang pesanannya. kadang dia minta dibeli telor, kadang minyak goreng, kadang mentega, dll. pokoknya nambahin uang keluarlah.” katanya.
“itu efek positif menonton” pikirku.
Tapi tetap anak meniru apa yang dilihatnya. Bagaimana jika tanpa sepengatahuan mereka anak-anak ini melihat hal yang negatif? adegan kekerasan, pornografi, penggunaan kata-kata yang tidak pantas, dan banyak lagi konten yang terkadang orang dewasapun belum tentu bisa menyaringnya.
Apakah kebanggaan mereka terhadap hasil tontonan anak tadi masih berlanjut?
Aku tidak sedang melarang kamu memanfaatkan teknologi. Bukan! Tapi, sejatinya teknologi itu ditujukan untuk mempermudah pekerjaan.
Jika kamu pikir memberi tontonan pada anak mempermudah kinerjamu, silahkan dilanjutkan. Tapi jika kemudian hari kamu merasa ada yang salah dengan sikap dan prilaku anakmu, jangan menyalahkannya.
Jika kamu merasa mereka semakin banyak pengetahuannya dengan tontonan itu, maka lanjutkan kebiasaanmu. Tapi jika kemudian hari kamu kewalahan mengendalikan sikap dan sifatnya. Telunjukmu jangan serta merta mengarahkan kesalahan padanya.
Proses meniru anak adalah pondasi pertumbuhan mereka. Pertama kali mereka mengisi memori otaknya dengan meniru apa yang dilihat dan di dengar disekitarnya. Memori ini yang kemudian hari menjadi sistem penyaringan atau otak reptilnya ketika dia dewasa.
Bayangkan jika otak reptilnya adalah sesuatu yang negatif. Ketika dia menganggap berbohong adalah hal yang wajar. Melampiaskan kemarahan dengan cara kasar adalah baik. Menindas orang lain harus dilakukan jika ingin berhasil, dll. Bagaimana kamu akan memasukkan nasehat-nasehat positif untuk perbaikan dirinya saat dia dewasa, jika sistem penyaringan otaknya sudah bocor?
Aku juga sudah kecolongan.
anak-anak ku juga sudah berlebihan menonton TV. Dan sering pertengkaran diawali dengan siapa yang berhak memegang remot harus terjadi.
Pernah mereka ku skors tidak menonton TV dengan harapan besok ketika sudah diberi kesempatan menonton mereka jadi mau berbagi. Tapi kenyataan tidak sesuai harapan. pertengkaran itu terus berlanjut. dan aku merasa hukuman yang sama tidak akan memberi pengaruh.
Seperti yang dikatakan Einstain; “kebodohan itu adalah ketika melakukan hal yang sama tapi mengharapkan hasil yang berbeda.”
Meskipun aku juga tidak mau menambah tingkat kebodohan dengan menjual TV ataupun melarang mereka menonton. Tapi satu-satunya hal yang masih bisa kuperbuat adalah tidak membiarkan mereka menonton tanpa pendampingan orang dewasa.
Posting Komentar
Posting Komentar