Di Posting Oleh : PAKNAI
Kategori : Aku
Bagaimana rasanya untuk anak 12 tahun mengalami penolakan?
Selepas dari SD aku berencana melanjutkan pendidikan ke Pesantren. Hal ini di aminkan oleh guru mengaji ku yang setiap malam mengajar di mesjid dekat rumah. Tapi niat ini belum ku sampaikan pada kedua orang tuaku.
Sudah seminggu setelah menerima ijazah, tidak ada yang menanyakan kemana aku akan melanjutkan sekolah, aku berharap bapak atau mamak yang memulai pertanyaan itu agar aku lebih mudah nanti menyampaikan niatku. Tapi harapan itu sepertinya hilang. hingga setelah salat isya bapak memanggil.
"kata ustad umar kau mau ke pesantren don?" tanyanya langsung to the point.
"Iya pak." Kepalaku tertunduk melihat jari-jariku karena tak berani menatap wajahnya.
"Kenapa ga bilang dari dulu? kan bapak sama mamak bisa mempersiapkannya. Klo sekarang bagaimana bapak bisa percaya melepaskanmu ke pesantren sedangkan kau ga bisa nyuci bajumu?" Kata bapak kemudian. Bapak kemudian menjelaskan kehidupan pesantren yang tidak sama dengan kehidupan di luar, dan kalimat-kalimat yang dikeluarkan itu cenderung menakutiku dan mencoba untuk memprovokasi agar aku mengurungkan niatku kesana.
Aku tidak terlalu mengingat apa yang beliau sampaikan tapi pernyataan "kamu ngga pandai menyuci." itu sudah menjadi penghalang yang menyatakan bahwa aku tidak bisa melanjutkan sekolah kesana.
Aku akhirnya melanjutkan sekolah ke SMP yang ada di dekat rumah, mengikuti jejak kakak ku. Ini hanya pilihan terakhir pikirku.
Selepas SMP aku melengkapi berkas administrasi untuk melanjutkan sekolah ke SMK Telkom. Sekolah ini letaknya di luar kota tempat ku tinggal. Kembali saat meminta tanda tangan orang tua aku mengalami hambatan. Kali ini bapak menyampaikan tentang besaran biaya yang akan dikeluarkan untuk membiayai sekolah disana. dan kembali dengan senjata ampuhnya menakut-nakuti kalau nanti dia tidak sanggup dan terpaksa aku dan kelima saudaraku akan putus sekolah karena biaya yang digunakan habis untuk ku. "Ke MAN aja kau daftarkan nak." kata bapak menunjukkan sekolah yang pada saat itu dipimpinnya.
Kali ini aku berontak dengan permintaannya untuk sekolah di tempat itu. "lebih baik aku ngga sekolah." kataku dengan keras.
Ancamanku tidak berguna bagi bapak. "cocok. kalau ga sekolah kau kan berkurang biaya yang ku keluarkan untuk uang sekolahmu." katanya.
Sebenarnya aku tidak setuju dengan pilihan sekolahnya, namun yang keluar dari mulutku adalah ancaman umum.
Aku mencoba untuk mengambil jurusan teknik sipil di perguruan tinggi, dan kali ini bukan bapak yang menentang. tapi perguruan tinggi itu yang menolakku. ternyata hasil ujianku tidak mencukupi untuk masuk ke perguruan tinggi tersebut. Dua kali aku mencoba untuk menembus jurusan itu, tapi hasilnya sama "gagal."
Dengan dasar ilmu pertanian yang kumiliki di kampus, aku mencoba peruntungan dengan membuka usaha pertanian. usaha ini ku pertahankan sampai aku memiliki satu anak. meski bertahan, tapi hasil yang kuperoleh tidak pernah memuaskan. terkadang cukup makan, dan terkadang malah tidak balik modal. dan akhirnya hasil yang pas-pasan itu harus kugunakan untuk menutupi lobang hutang.
Bagaimana setiap kegagalan ini membentuk karakterku?
Ada rasa putus asa. tentu. Kadang aku berfikir, kenapa setiap usaha yang ku kerjakan gagal? apakah memang aku diciptakan untuk gagal?
Tapi pikiran itu ku lawan agar tidak membuat diriku depresi. Aku diingatkan dengan salah satu Ayat al Qur'an :Setelah kesulitan ada kemudahan.
Aku merenung kemudahan apa yang kuperoleh dengan kegagalan ku selama ini "pikirku." aku ingat sampai hari ini aku masih hidup. bukankah ada diantara temanku yang sudah meninggal? aku ingat bahwa aku sudah menikah dan punya anak, bukankah ada diantara kerabatku yang belum menikah dan belum punya anak? dan aku ingat bahwa sampai hari ini aku punya tempat tinggal dan tidak punya hutang.
Bukankah semua ini adalah kemudahan dari kesulitan-kesulitan yang aku alami selama ini? jadi bagaimana aku bisa menyatakan diriku tidak layak? atau apakah memang aku tidak layak mendapatkan kemudahan-kemudahan ini karena hanya menyesali kegagalan selama ini?
Mungkin Allah memang menciptakan kita sebagai manusia sebagai orang yang kurang bersyukur. dan sisi itu diperkuat oleh setan dengan permintaannya menambah pengikut dari golongan manusia. Tapi, Apakah ALlah mau kita begini-begini terus?
Aku rasa tidak, Allah itu maha pengasih dan penyayang. Tidaklah mungkin dia memberi ujian tanpa jawaban/solusi. Hal ini ku perkuat dengan kebiasaan-kebiasaanku yang memang jika dibandingkan dengan mereka yang sudah berhasil sangat jauh berbeda.
Setelah keyakinan pada Allah hal kedua yang ALLah jadikan tiang agama adalah Shalat. Bagaimana solat bisa menjadi tiang agama? dalam bukunya Power of Habit, Charles Duhigg menjelaskan tentang bagaimana kebiasaan membentuk manusia.
Allah meminta kita menjadikan shalat sebagai kebiasaan dengan melakukannya minimal 5 kali sehari. kebiasaan ini yang akan menjadi penguat tentang kedekatan kita dengan ALlah dan benyak ulama yang mengingatkan tentang shalat ini sebagai sarana komunikasi dengan Allah, tapi jarang kita laksanakan.
Jika tiang bangunanan tidak kokoh, apakah itu pertanda bahwa bangunan mudah roboh? maka manfaatkanlah sarana yang Allah berikan. Shalat sebagai kebiasaan akan menambah kedekatan kita dengan Allah sehingga apapun yang menjadi halangan atau tantangan dalam hidup, jika tiang yang kita buat kokoh, tidak akan merobohkan bangunan keyakinan kita pada Allah.
Jadi, apakah kita tidak layak?
Posting Komentar
Posting Komentar